3.30.2010

Usulkan 1 April Hari Penyiaran

Suara Merdeka
30 Maret 2010


SEMARANG - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng menggagas 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional. Sekaligus meminta Sri Mangkunegara VII sebagai Bapak Penyiaran.

Sebagai puncaknya pada tanggal tersebut akan dilakukan deklarasi secara nasional yang dipusatkan di Solo. Wakil Ketua KPID Jateng Najahan Musyafak mengatakan, usulan tersebut sudah disampaikan pada Menkominfo Tifatul Sembiring.

Harapannya, pemerintah bisa membahas sekaligus menetapkannya. Usulan tersebut juga telah mendapatkan dukungan dari KPID lain di antaranya Yogyakarta, Jabar, Jatim, Bali, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.

’’Data-data sudah kami kumpulkan dan hari ini (kemarin), kami diundang Menkominfo untuk paparan,’’ ungkap dia kepada wartawan didampingi Ketua KPID Jateng Budi ’’Wess’’ Sudaryanto, dan anggota Retno Mawarini dan Sosiawan, di kantor KPID Jl Tri Lomba Juang, Semarang, Minggu (28/3).

Najahan menuturkan, sudah saatnya Indonesia memiliki hari penyiaran. Selama ini, hanya ada hari jadi RRI pada 11 September dan TVRI 24 Agustus. Ditilik dari perkembangan sejarah bangsa, pada 1 April merupakan cikal bakal berdirinya sebuah lembaga penyiaran yakni Solosche Radio Vereeniging atau SRV. Resmi berdiri 1 April 1933, diprakarsai oleh Sri Mangkunegara VII di Pura Mangkunegaran.
Diskusi Sejarah Diterangkan, SRV memang bukan stasiun radio pertama saat itu. Sebelumnya telah ada Bataviasche Radio Vereeniging (BRV) pada 1925 di Jakarta dan Radio Malabar di Bandung sekitar awal 1920-an.

Menurut dia, gagasan tersebut tercetus sudah lama. Hari Wiryawan yang sekarang menjabat sebagai anggota KPID Jateng, lebih dari lima tahun mengumpulkan data-data baik arsip, situs maupun pelaku untuk menguatkan gagasan tersebut. ’’Gesang dan Waljinah merupakan mantan penyiar SRV. Beliau mendukung penuh gagasan adanya hari penyiaran,’’ lanjutnya.

Untuk menguatkan gagasan itu, pada Rabu (31/3), akan digelar diskusi sejarah penyiaran yang menghadirkan sejumlah pakar seperti Sudarmono (sejarawan), Asvi Warman Adam (LIPI), dan Parni Hadi (Dirut RRI). (H37,H23-60)

3.14.2010

Indonesian Radio Awards 2010

Penghargaan untuk karya-karya radio terbaik di Indonesia

Jusuf Ronodipuro Award untuk kategori Feature Jurnalistik
Ken Sudarto Award untuk kategori Iklan Komersil, Iklan Layanan Masyarakat,
dan Promo Program
Penghargaan khusus untuk Drama Radio Terbaik

Kirimkan karya-karya radio terbaik Anda untuk mengikuti kompetisi ini,
dengan ketentuan umum:

Tema bebas
Karya disiarkan dalam periode 1 Januari 2009 sampai dengan 15 Maret 2010
Khusus untuk kategori Drama Radio, disiarkan dalam periode 1 Januari 2008
sampai 15 Maret 2010

Pengiriman karya paling lambat 30 Maret 2010 (cap pos) di alamat:
Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
Jl. Utan Kayu 68H, Jakarta 13120

Lihat ketentuan lomba per kategori di www.ppmn.or.id

Pengumuman dan penyerahan penghargaan untuk pemenang akan diadakan di
Jakarta pada 6 Mei 2010.

3.12.2010

Siapa Kami...

Komunitas Jurnalis Radio Jawa Tengah (KJR-Jateng), adalah sebuah organisasi nirlaba yang beranggotakan para reporter radio yang tersebar di 35 kota se-Jawa Tengah. Organisasi ini didirikan untuk memberdayakan para jurnalis radio guna mencapai profesionalitas dan posisi tawar yang lebih baik.

Secara resmi, KJR Jawa Tengah dideklarasikan pada tanggal 01 April 2006 di Hotel Santika Semarang. Awalnya kegiatan KJR hanya ajang silaturahmi antar reporter radio swasta saja, namun dalam perkembangannya turut berkiprah dalam penyiapan regenerasi reporter radio yang standart, baik secara etika maupun profesionalitas. Itulah sebabnya KJR juga mengadakan pelatihan ataupun workshop singkat tentang jurnalistik radio kepada para pelajar dan mahasiswa, maupun internal reporter.

Karenanya, kegiatan KJR bukan lagi sekedar ajang kumpul, namun juga aktif dalam advokasi para jurnalis yang mendapatkan ketidak adilan.

Seiring dengan tingginya pertumbuhan radio yang mengemas berita sebagai sajian utama, pada tanggal 27 Desember 2009, KJR mengadakan reorganisasi. Dalam kesempatan itu, disepakati penyusunan AD / ART sebagai acuan perilaku berorganisasi. Dan untuk meningkatkan posisi tawar organisasi maupun personal-personal KJR, maka pada bulan Maret 2010, organisasi ini resmi di-akta-kan di notaris agar berbadan hukum.

Saat ini, KJR beranggotakan 42 orang, baik aktif maupun tidak aktif, tersebar di Jawa Tengah.

Radio Journalism Goes to School





Workshop Jurnalis Radio tema lingkungan



Sembilan Elemen Jurnalisme

The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) 205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)


HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.

Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.

Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

-Jangan menambah atau mengarang apa pun;
-Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
-Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
-Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
-Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

- Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.


SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.


SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”*

Wartawan demo Bank Indonesia

www.wawasandigital.com
Thursday, 14 May 2009

SEMARANG - Wartawan di tiga daerah, masing-masing Kota Semarang, Kudus dan Surakarta, Kamis (14/5) pagi tadi, menggelar aksi unjuk rasa memprotes terjadinya pemukulan yang dilakukan oknum satpam BI di Jakarta terhadap jurnalis SCTV, Carlos Pardede, Rabu (13/5) kemarin. Inti dari aksi tersebut menuntut agar kasus pemukulan tersebut diusut hingga tuntas. Puluhan wartawan yang biasa meliputi di kota Semarang, Kamis (14/5) pagi tadi, mendatangi kantor Bank Indonesia di Jalan Imam Bardjo SH Mereka merupakan gabungan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Jateng, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Forum Wartawan Pemprov dan DPRD (FWJT) Jateng.

Didukung pula oleh Kelompok Diskusi Wartawan (KDW) Jateng, Komunitas Wartawan Provinsi (KWP) Jateng, Jurnalis Televisi Swasta (JTS) Semarang, Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Semarang, Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang dan Komunitas Seniman Semarang.

Menurut koordinator aksi Sriyanto Saputro, aksi ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap terjadinya kasus pemukulan terhadap wartawan SCTV, Carlos Pardede, oleh oknum petugas keamanan Bank Indonesia di Jakarta. Karena itulah, sebagai bentuk solidaritas pihaknya menggelar aksi dan menuntut agar kasus tersebut diusut tuntas sebagai upaya penegakan hukum di negeri ini.

”Kami mengecam keras tindakan tersebut, karena telah menghambat kerja jurnalis dan bertentangan dengan kemerdekaan pers sebagaimana diamanatkan oleh UU No 40 tahun 1999 tentang Pers,” ujar Sriyanto yang juga Ketua PWI Jateng ini.

Selain itu, para peserta aksi juga meminta agar segala bentuk kriminalisasi pers di Indonesia dihentikan. Dirinya juga berharap agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.

Aksi dimulai sekitar pukul 09.00 berjalan kaki dari press room DPRD Jateng ke kantor BI yang berjarak sekitar 300 meter. Mereka berjalan sembari membawa poster bertuliskan ”Stop Kekerasan, Tindak Tegas Satpam yang Seperti Preman” dan lain-lain.

Selain itu, para peserta aksi juga menaburkan bunga tujuh warna sebagai pernyataan matinya nurani akan kebebasan pers serta membawa rombongan perkusi sembari melakukan happening art.

Pimpinan KBI Semarang, M Zaeni Aboe Amien yang menemui wartawan menyatakan keprihatinnya dengan kejadian ini. Namun ia mengaku jika kejadian itu bukanlah sebuah kesengajaan. ”Namun yang pasti kami mohon maaf dan kejadian serupa tidak akan terjadi di Semarang,” ujarnya.

Ditambahkannya, dirinya berharap agar kejadian di Jakarta ini tidak mengurangi hubungan positif yang sudah terbina antara wartawan yang biasa meliput dengan BI Semarang. Dirinya berjanji, kasus serupa tidak akan terulang di Semarang.

Di Kudus
Sementara itu belasan wartawan yang tergabung dalam Komunitas Wartawan Kudus (Kawanku), pagi tadi juga menggelar aksi unjuk rasa mengecam pemukulan terhadap wartawan SCTV, Carlos Pardede, yang dilakukan oknum keamanan BI di Jakarta.

Aksi para wartawan tersebut dilakukan di alun-alun Simpang Tujuh, Kudus. Dalam aksinya, peserta yang merupakan para pegiat jurnalistik di wilayah Kudus melakukan orasi yang menentang adanya aksi kekerasan pada wartawan. Sebab, pemukulan tersebut mencederai profesi wartawan dan melanggar UU 40/1999 tentang Pers.

”Pemukulan ini sudah merupakan tindak kriminal. Bukan tidak mungkin aksi pemukulan tersebut akan kembali terulang dan menimpa teman-teman kita yang lain,” ujarnya.

Untuk itu, kawanku mendesak kepada aparat Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut dan menindak pelaku kekerasan sesuai undang-undang yang berlaku.

Dalam aksi tersebut, wartawan juga melakukan aksi simbolis dengan meletakkan kamera dan perlengkapan jurnalistik mereka sebagai tanda keprihatinan masih maraknya kekerasan pada wartawan.

Di Solo
Sekitar seratusan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik di Solo, pagi tadi, demo ke kantor Bank Indonesia (BI) di Jalan Jendral Sudirman. Mereka menyerukan pejabat BI mengambil tegas terhadap para oknum satpam pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis SCTV.

Aksi para jurnalis yang tergabung dalam Forum Solidaritas Wartawan Surakarta (FSWS) itu semula berlangsung di Bundaran Gladag. Setelah melalukan orasi secara bergantian, para wartawan itu langsung berjalan menuju gedung BI yang letaknya berada di sebelah utara. Begitu sampai di depan Gedung BI, mereka kembali melakukan orasi yang dikoordinasi Eka Hari Wibawa dari Metro TV. Selain itu, para jurnalis itu juga membagi-bagikan pernyataan sikap yang terdiri dari tiga butir tuntutan.

Pertama, menolak segala bentuk tindak kekerasan terhadap para pekerja Pers. Kedua, mendesak pihak yang berwajib mengusut tuntas sesuai hukum yang berlaku terhadap sepuluh oknum Satpm BI yang diduga menganiaya wartawan. hid/Tom/Hud-Ct

Giliran Wartawan Semarang Unjuk Rasa soal Pemukulan Reporter

MediaIndonesia.com
Kamis, 14 Mei 2009 12:59 WIB


SEMARANG--MI: Puluhan wartawan se-Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (14/5), melakukan unjuk rasa menuntut aksi kekerasan yang dilakukan oknum keamanan Bank Indonesia di Jakarta terhadap Wartawan SCTV Carlos Pardede segera diusut tuntas.

Aksi yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, diawali dengan longmarch dari Jalan Pahlawan menuju Kantor BI Semarang di Jalan Imam Barjo itu didukung sejumlah komunitas wartawan di Semarang, seperti PWI Jateng, IJTI Korda Jateng, AJI Semarang, Komunitas Jurnalis Radio, dan Koalisi Jurnalis Perempuan Semarang.

Sepanjang perjalanan, para pengunjuk rasa secara bergantian melakukan orasi menyatakan sikap keprihatinannya atas kasus kekerasan yang menimpa Wartawan SCTV dan menuntut pengusutan kasus kekerasan tersebut hingga tuntas agar tidak terulang.

"Kami bekerja bukan dengan cara kekerasan dan jangan ajari kami dengan cara kekerasan," teriak salah seorang orator Edi Prayitno Ige.

Profesi wartawan, dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers. "Kami punya kebeberasan pers dan upaya menghalang-halangi terhadap kerja pers juga pelanggaran terhadap UU Pers. Kami tidak ingin ada kriminalisasi terhadap pers," tegasnya.

"Kami menuntut aparat kepolisian segera mengusut tuntas oknum keamanan yang melakukan kekerasan itu," teriaknya diikuti tepuk tangan para peserta aksi.

Para pejabat BI di Semarang juga diminta berkomitmen untuk melakukan koordinasi dengan sejumlah pihak agar kasus serupa tidak muncul di Kota Semarang.

Setelah sampai di depan Kantor BI Semarang, puluhan pengunjuk rasa tidak ingin masuk ke halaman, meskipun pihak BI mempersilahkan pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya.

Selama beberapa menit, pengunjuk rasa kembali menyampaikan aspirasinya dengan berorasi secara bergantian karena berada tepat di depan pos keamanan BI Semarang untuk mengingatkan petugas keamanan BI Semarang agar tidak meniru tindakan anarkis oknum keamanan BI Pusat.

Menanggapi pernyataan sikap pengunjuk rasa, Pemimpin Kantor Bank Indonesia Semarang M Zaeni Aboe Amin mengatakan, pihaknya berjanji akan menyampaikan pernyataan sikapnya itu kepada pimpinan BI di Jakarta.

"Kami atas nama BI Semarang menyampaikan penyesalan atas terjadinya kasus yang tentunya tidak diinginkan oleh semua pihak," ujarnya.

Ia berharap, kasus tersebut tidak akan terulang. "Kami juga berharap, hubungan baik BI Semarang dengan semua media dapat terjalin lebih baik lagi," ujarnya. (Ant/OL-04)

Menjelang eksekusi mati








Dec 22, '07 12:17 AM

3 Terpidana mati kasus terorisme bom Bali 1 tahun 2002, Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron alias Muklas, saat ini masih mendekam di LP Batu Nusakambangan Cilacap Jawa Tengah. 15 desember 2007 lalu, ketiganya dikunjungi keluarga dan sejumlah ustad dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Turut serta dalam kunjungan tersebut Amir MMI Ustad Abu Bakar Ba'asyir dan pengacara dari Tim Pembela Muslim TPM, dengan koordinatornya M. Michdan.

Moment langka ini sempat di potret para Jurnalis Radio dari Semarang yang tergabung dalam Komunitas Jurnalis Radio KJR Jawa Tengah, yang ikut dalam rombongan yang jumlahnya sekitar 40 lebih orang.Kami menyaksikan bagaimana bahagianya mereka bertemu keluarga dan sanak saudara. Mereka mendapat nasihat dari Ba'asyir. Dan satu lagi, Imam Samudra dan Muklas bersedia berbicara meski tidak banyak....sementara Amrozi kayaknya lagi males ketemu kita-kita.

Ini sebagian perjalanan ke LP Batu yang sempat kami abadikan sebelum ke tiganya dieksekusi oleh regu tembak.

aernee.multiply.com

Warkshop Jurnalistik Radio





Organisasi Wartawan Mengecam

SUARA MERDEKA
Selasa, 11 April 2006

SEMARANG - Sejumlah organisasi profesi wartawan mengecam terjadinya kasus pemukulan terhadap dua wartawan televisi swasta nasional. Yaitu Topan Yudha Prakoso (SCTV) dan Damar Sinuko (TV7) yang dilakukan panitia Kejuaraan Sepatu Roda Ikos IM3 Antarmaster di Jalan Pahlawan, Minggu (9/4). Kasus itu dianggap telah menghalangi kerja jurnalistik wartawan.

Kecaman itu muncul dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Ikatan Jurnalis Televisi Swasta (IJTS) Jateng, dan Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jateng. Ditemui dalam kesempatan terpisah, mereka menilai, kasus itu telah mencederai kebebasan pers.

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan Wartawan PWI Jateng Sriyanto Saputra menyesalkan kasus pemukulan tersebut. Menurut pa ndangannya, wartawan mempunyai hak meliput lomba kejuaraan sepatu roda itu. Lebih lanjut, Sriyanto menyatakan kesiapan PWI Jateng untuk melakukan advokasi terhadap korban pemukulan tersebut.

''Kendati bersangkutan bukan anggota PWI, kami tetap siap mendampingi jika diproses lebih lanjut secara hukum,'' tandas Sriyanto seusai menjenguk kedua korban dan memberikan laporan ke Mapolwiltabes, Minggu (9/4) siang.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang Ardiansyah Harjunantio. Kasus kekerasan yang menimpa wartawan saat melakukan peliputan itu bukanlah kali pertama. Dia mengemukakan, banyak kasus kekerasaan terhadap wartawan itu membuktikan profesi wartawan masih rentan terhadap aksi kekerasan walau telah memiliki undang-undang khusus.

AJI, lanjut dia, dalam hal ini akan mengadvokasi jurnalis yang mengalami aksi kekerasan terkait dengan kerja profesi mereka.

''Kami menyesalkan sekaligus mengecam perilaku kekerasan itu. Polisi harap mengusut tuntas kasus itu dengan memidanakan oknum pelaku kekerasaan dengan UU Pers dan KUHP,'' ungkap Ardiansyah yang juga wartawan Metro TV itu. Hal tersebut penting dilakukan karena akan berdampak bagi para pelaku aksi kekerasan terhadap wartawan. Dirinya juga meminta pihak panitia meminta maaf secara lisan ataupun tertulis kepada korban.

Ketua KJR Jateng Edhi Prajitno Ige dan Ketua IJTS Jateng Sunu AP mengharapkan, kasus pemukulan dua wartawan televisi swasta itu tetap diproses hukum. Mereka berharap, penyidik menggunakan UU Nomor 40/1999 tentang Kebebasan Pers di samping KUHP.

''Hal itu dilakukan agar masyarakat paham, para wartawan dalam bekerja juga dilindungi undang-undang. Ini bisa jadi contoh kepada oknum pelaku tindak kekerasan,'' tandas Edhi. (H21,C16-56j)

Komunitas Jurnalis Radio Jateng Dideklarasikan

Minggu, 02 April 2006 : 18.01 WIB

Semarang, CyberNews. Pengesahan empat Peraturan Pemerintah Penyiaran dinilai mengembalikan dominasi pemerintah terhadap dunia media massa. Pasalnya, pemerintah memiliki kewenangan memberikan sanksi administrasi secara sepihak pada media yang dinilai melanggar.

Demikian yang terungkap dalam diskusi mengenai PP Penyiaran yang diadakan Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jawa Tengah di Restoran Ondrowino Hotel Santika Semarang, Sabtu (1/4). Hadir sebagai pembicara, Amirudin dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng, mantan Ketua Panwas Jateng Nur Hidayat Sardini, dan anggota Komisi A DPRD Jateng Soejatno Pedro HD.

''Wewenang pemerintah tidak hanya terbatas pada pemberian sanksi, akan tetapi juga pada pengurusan perizinan. Ini yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam pengaturan,'' ujar Amirudin.

Dia menambahkan, kondisi media elektronik saat ini makin dihadapkan pada situasi yang sulit. Setidaknya dalam sanksi saja akan lebih banyak. Mereka tidak hanya mendapatkan ancaman sanksi administrarif berdasar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Namun juga, ada ancaman sanksi admistrasi dan teknik dari pemrintah.

Pada kesempatan itu, dideklarasikan Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jateng. Edhi Prayitno Ige (Radio Elshinta) terpilih sebagai ketua, didampingi wakil ketua Saut Simanjuntak (Radio Smart FM), sekretaris Slamet Priyo (Radio Rasika), dan bendahara Nugie Setyabudi (Radio Idola).

''Deklarasi KJR merupakan upaya untuk membangun sinergi di antara para jurnalis radio di Jateng. Kalau bersatu, saya kira, jurnalistik radio bisa menjadi satu kekuatan tersendiri, di samping jurnalisme cetak dan televisi. Sejauh ini, agaknya, teman-teman jurnalis radio itu relatif berjalan sendiri-sendiri,'' kata Edhi.

Ditambahkannya, jumlah jurnalis radio di Jateng boleh dibilang cukup banyak. Hal itu sejalan dengan pertumbuhan radio siaran yang mengemas news sebagai salah satu bagian dari program yang disajikan. Namun, disadari kuantitas yang cukup banyak itu belum diimbangi dengan soliditas yang rekat antarjurnalis radio sendiri.

( achiar m permana/renjani pusposari/cn05 )

Komunitas Jurnalis Radio

Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jateng merupakan sebuah organisasi profesi nirlaba yang bergerak dalam bidang pemberdayaan Jurnalis Radio khususnya menghadapi demokratisasi penyiaran.

Selain pemberdayaan Jurnalis Radio, juga berpretensi memberdayakan masyarakat dalam konteks penyelenggaraan negara, melalui informasi yang diudarakan dengan menggunakan frekuensi radio yang merupakan ranah publik.