7.25.2010

Jadi Penyiar Radio Itu Gampang


Harian Suara Merdeka
Semarang & Sekitarnya
26 Juli 2010

* Pelatihan KJR bagi Siswa SMA/SMK

SIAPA yang ingin menjadi penyiar radio...? Pertanyaan itu meluncur dari mulut wartawan Radio Elshinta, Parma Andhika Puspita di hadapan 30 peserta siswa SMA/SMK pada pelatihan jurnalistik radio dengan tajuk ’’Cara Gampang Jadi Penyiar’’ di Hotel Santika Premiere, Sabtu (24/7). Kegiatan itu diselenggarakan oleh Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jateng.

Sontak seluruh peserta itu mengacungkan jari dengan antusias. Andhika pun mengatakan, jika mau jadi penyiar radio itu gampang asal memenuhi beberapa syarat. Tidak hanya dengan modal suara indah saja, tapi harus mempunyai wawasan, sense of music, sense of humor, dan bahasa tutur.

’’Penyiar harus berwawasan agar siarannya hidup, dinamis, berisi, dan tidak monoton. Selain itu, tugas penyiar tidak hanya memutar lagu, tapi juga paham tentang jenis musik atau artisnya. Kemudian, penyiar juga harus humoris dan punya bakat menghibur untuk menghidupkan acara,’’jelasnya.

Ya, penyiar radio memang masih dianggap sebagai profesi yang ’’wah’’ bagi sebagian kalangan, khususnya pelajar. Dengan menjadi penyiar, setidaknya eksistensi dan popularitas bisa direngkuh. Apalagi jika stasiun radio tempatnya bekerja cukup ngetop.

Demikian pula bagi para pelajar, banyak di antara mereka yang menganggap profesi penyiar adalah profesi yang susah digapai, karena adanya persyaratan-persyaratan khusus. Apalagi saat ini nyaris semua radio tidak ada yang membuka peluang magang, dengan mengajak pelajar untuk bersiaran di studio mereka.
Melalui pelatihan yang diikuti oleh puluhan siswa SMA/SMK se-Karesidenan Semarang ini mereka dibekali ilmu praktis menjadi penyiar.

Ketua KJR Jateng, Nonik Arni menjelaskan, tujuan KJR membuka pelatihan ini murni karena segmen pelajar jarang dilirik oleh radio. Mayoritas mereka hanya dijadikan pendengar saja, namun belum diberdayakan. “Dengan pelatihan ini, kami berharap para pelajar itu ketika mendengarkan radio sudah bisa mengkritisi penyiarnya. Entah dari sisi teknis maupun nonteknis,” katanya.

Dalam acara yang berlangsung sepanjang siang tersebut, Shanty Rosalia dari Radio Smart FM juga membagikan tips-tips teknis bersiaran, khususnya siaran berita. ’’Penyiar adalah pemain watak. Jangan sampai kesedihan pribadi dibawa ke bilik siar sehingga publik atau pendengar mengetahuinya. Karenanya lebih baik alat-alat komunikasi, seperti HP jangan sampai dibawa ke bilik siar,’’ terangnya.

Salah satu peserta dari SMK 7 Semarang, Wijatmoko (17) mengaku, pelatihan ini merupakan dunia baru baginya. ’’Sekarang saya ingin mempraktekan ilmu yang saya dapat dari pelatihan ini untuk menekuni bidang broadcast,’’ tuturnya.

Hal yang sama disampaikan oleh Deni Hendrawan (17), siswa kelas XI Jurusan Teknik Siaran Radio, SMK 1 Semarang. Dia mengatakan, selain dapat berlatih secara langsung dan menambah wawasan, materi yang diberikan dari pelatihan ini akan diterapkan dalam pembelajaran di sekolah dan ditularkan kepada teman-temannya.

’’Meski di sekolah juga ada radio dan saya juga mengambil jurusan tentang teknik radio, tapi pelatihan yang disampaikan oleh mentor yang kebetulan adalah jurnalis radio membuat saya semakin kaya pengetahuan dan wawasan,’’ujarnya. (Anggun Puspita-71)

7.09.2010

”Teror Terus Menghantui Kita..”

Usut Tuntas Pelempar Bom Molotov di Kantor Tempo

Meski tidak sampai menimbulkan kebakaran hebat karena api berhasil dipadamkan, bom molotov yang meledak tepat di kaca depan kantor Majalah Tempo, di Jalan Proklamasi 72, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa dini hari sekitar pukul 02:40 WIB setelah beberapa saat 2 pengendara motor tak dikenal melempar 2 bom molotov, menjadi bukti teror terhadap jurnalis dan media masih menghantui dunia pers di Indonesia.

Karena itu Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jawa Tengah mendesak penegak hukum mengusut tuntas pelaku pelemparan bom Molotov ke kantor Majalah Tempo Jl. Proklamasi No. 72 pada Selasa 6 Juli pukul 02.40 WIB lalu. KJR menganggap aksi ini merupakan sebuah teror tidak hanya terhadap Majalah Tempo tetapi juga dunia pers yang notabenenya dilindungi hukum.

Menurut ketua KJR Jateng, Noni Arni, tidak ada toleransi bagi siapapun yang menjadi pelaku kekerasan terhadap pers. Untuk itu, kepolisian harus mempunyai komitmen untuk menuntaskannya. Jika tidak, maka akan terus menjadi tendensi buruk bagi sejarah pers kita yang akan terus dipertanyakan publik.

”Kejadian ini terus berulang dan terus menghantui dunia pers kita. Bagaimana kita bekerja dengan maksimal kalau selalu di intervensi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Tidak hanya ancaman fisik tapi juga psikologis, ini sungguh mengerikan,” ungkap Noni.

Dewan Etik KJR Jateng, Edhie Prayitno menambahkan, pelemparan bom molotov menambah deretan kekerasan terhadap pers. Dari data yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Pers sepanjang 2009 terdapat 55 kasus. Kasus itu terdiri dari 32 kekerasan fisik, perampasan, hingga pembunuhan. Sementara dalam kurun Januari hingga April 2010 tercatat 28 kasus kekerasan psikis berupa larangan meliput hingga ancaman dan intimidasi.

”Di beberapa daerah kekerasan cenderung meningkat. Di Yogyakarta, sejak bulan Mei 2010 kasus kekerasan yang menimpa wartawan mencapai 12 kasus, dari tahun sebelumnya yang hanya berkisar 9 kasus. Di Medan, memasuki tahun 2010 ada 4 kasus. Dibulan juni, kasus kekerasan menimpa kameramen TVone, dan peristiwa penyerangan juga dialami 2 jurnalis dari Global TV dan Indosiar, berselang 1 hari dari peristiwa tempo.”

Kondisi ini menunjukkan kerja jurnalistik tidak mendapat perlindungan hukum. Profesi jurnalis sangat rentan.

Seperti diberitakan oleh media, kantor Majalah Tempo dilempar bom molotov oleh orang tak dikenal pada Selasa 6 Juli pukul 02.40 WIB. Tak ada korban dalam peristiwa tersebut. Sampai saat ini polisi belum mengidentifikasi pelakunya.

Peristiwa ini diduga kuat karena pemberitaan laporan utama di Majalah Tempo yang berjudul “Rekening Gendut Perwira Polisi”. Cover majalah yang menggambarkan seseorang berseragam coklat dengan membawa celengan babi yang ditarik dengan tali sempat menimbulkan reaksi keras dari Polri. Majalah Tempo diancam dipidanakan karena dianggap melakukan pencemaran nama baik.