4.25.2010

MK Uji Materi UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Senin, 26 April 2010 | 04:13 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi masih menguji Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ketentuan mengenai hak pengusahaan perairan pesisir dalam UU itu dinilai kontroversial dan bertentangan dengan konstitusi.

Hal itu dikatakan Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria di Jakarta, Sabtu (24/4). ”Memang ada pasal yang dinilai kontroversial. Pasal itu terkait hak pengusahaan perairan pesisir (HP3),” katanya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nurkholis Hidayat mengungkapkan, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memang mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No 27/2007 kepada MK. ”Uji materi itu masih dalam proses,” katanya.

Menurut Nurkholis, ada ketentuan dalam UU No 27/2007 yang memberikan hak pengusahaan perairan pesisir kepada pihak swasta. Selain itu, swasta juga dapat mengalihkan atau mengomersialkan perairan pesisir kepada pihak lain.

Ketentuan seperti itu, menurut Nurkholis, jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Beberapa LSM yang tergabung dalam tim advokasi tolak HP3 telah mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No 27/2007. Ketentuan UU No 27/2007 yang diuji terutama Pasal 1 Angka 18.

Dalam Pasal 1 Angka 18 UU itu dinyatakan, ”hak pengusahaan perairan pesisir, selanjutnya disebut HP3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu”.

Arif menambahkan, dalam UU No 27/2007, ada ketentuan yang menyatakan bahwa HP3 dapat diberikan kepada orang perorangan, badan hukum, dan masyarakat adat untuk jangka waktu selama 20 tahun.

Selain itu, menurut dia, HP3 juga dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. Bahkan, HP3 dapat dijadikan jaminan utang atau diagunkan kepada pihak perbankan.

”Pengalihan HP3 kepada pihak lain itu dapat mengakibatkan akumulasi kepemilikan HP3 oleh pemilik modal besar,” ujarnya. Apabila terjadi akumulasi kepemilikan HP3 pada pemilik modal besar, kondisi itu dapat menimbulkan masalah sosial.

Dalam Pasal 20 Ayat 1 UU No 27/2007 disebutkan, HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Dalam Ayat 2 disebutkan, HP3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP3. (FER)

4.24.2010

Menggelitik Jurnalistik Profesi yang Jauh dari Profesional

Di negeri kita banyak istilah yang dipakai untuk para pekerja media. Mulai dari kuli tinta, wartawan, Jurnalis, reporter dan lainnya.

Tidak hanya itu, untuk istilah para pekerja media yang nyeleneh alias wartawan gadungan, juga tidak ketinggalan. Ada sebutan wartawan BODREK, istilah ini untuk sebutan wartawan yang cukup diberi uang seharga obat pening. Ada sebutan CNN alias Cuma Nengok-Nengok, ia tak memiliki media tapi suka bergabung dengan para Jurnalis di pusat-pusat pemberitaan, seperti kantor pemerintah, dia ada tapi tak pernah nulis berita. Ada sebutan Wartawan TEMPO, ini bukan wartawan dari majalah/harian tempo, tapi ini ejekan buat wartawan yang medianya tempo-tempo terbit, tempo-tempo tutup.

Istilah dan lelucon buat Jurnalis bukan tak beralasan. Profesi yang cukup memiliki peran penting bagi keberlangsungan Demokratisasi di negeri ini ternyata begitu gampangan. Profesi ini begitu gampang digunakan orang untuk mendapatkan uang, tak ada sanksi bagi mereka yang gadungan, tak ada syarat ketat untuk mendapatkan predikat seorang Jurnalis. Profesi ini pun begitu diminati para pengangguran, preman, tukang palak dan para markus alias mapia kasus. Tak heran bila profesi yang memiliki tugas cukup mulia sebagai penyambung lidah masyarakat ini nyaris kehilangan marwah. Ia sering digunakan bukan untuk tujuan semestinya sebagai Jurnalis yang bekerja independent, tapi sering digunakan untuk kepentingan materi, kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Sehingga tak heran, para Jurnalis pun mendapat cemoohan.

Namun begitu Pers ini seperti dua mata pisau yang berbeda. Di satu sisi banyak dihina, dicaci dan dianggap sumber keonaran. Tapi bagi pers yang berjalan pada koridornya, bukan tak jarang menjadi sumber inspirasi yang cemerlang. Kita contohkan saja gerakan koin Prita. Sadar atau tidak, peranannya begitu besar dalam menggerakkan hati masyarakat melalui media massa untuk menuntut keadilan. Tak kalah heboh kasus di Binjai, kasus anak yang dipenjarakan hanya karena persoalan pertengkaran dan akhirnya karena gencarnya media memberitakan sang anak pun dikembalikan kepada keluarga. Tidak sedikit persoalan-persoalan ketidak adilan menjadi konsumsi media untuk mendapatkan keadilannya kembali, tetapi bukan tak sedikit pula media menjual ketidak adilan untuk menghidupi medianya dengan mengambangkan sebuah kasus yang berakhir dengan suap menyuap.

Tidak Memberikan Ruang Yang Sama

Adalah pers yang digunakan sebagai media kampanye yang kini mulai bermunculan di musim pemilu dan pilkada. Hal ini juga menjadi bahagian yang tak kalah pentingnya untuk dibahas. Pemberitaan media juga sangat tidak memberikan ruang yang sama bagi seluruh kandidat. Contohnya saja pemilihan kepala daerah sekarang ini. Pola pemberitaan ini sudah mulai nampak sejak 3 bulan sebelum masa pemilihan. Akan terlihat, media ini mendukung si ini dan media itu mendukung si itu, tergantung pada pesanan, bahkan ada juga satu kandidat selalu diberitakan di hampir semua media dan satu kandidat sama sekali tak pernah mendapat ruang pemberitaan di media mana pun.

Pada pemilihan Walikota Medan periode lalu, ada media massa yang dibentuk khusus untuk media kampanye sang kandidat, berita yang muncul adalah berita mengangkat sang kandidat dan mendeskreditkan lawan politik. Ia hidup memang tak bertahan lama, masa kontraknya hanya khusus untuk pemilihan kepala daerah. Sayangnya, tak ada sangsi bagi media tersebut. Dewan pers pun tak cukup gigi untuk memberikan teguran kecuali sebatas himbauan dan berakhir pada mekanisme pasar yang menentukan.

Hal lain lagi yang cukup menggelitik adalah soal profesionalisme. Pekerja media dianggap sebagai Profesi yang Profesional. Kalau menuruti sebuah definisi, Profesional adalah orang yang memiliki 3 hal, skill, knowledge dan attitude. Skill disini berarti adalah seseorang itu benar-benar ahli di bidangnya. Knowledge, tak hanya ahli di bidangnya, tapi ia juga menguasai, minimal tahu dan berwawasan tentang ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan bidangnya. Dan Attitude, bukan hanya pintar dan cerdas...tapi dia juga punya etika yang diterapkan dalam bidangnya. Tapi pada kenyataannya banyak Jurnalis yang tidak profesional. Bahkan banyak perusahaan pers yang menempatkan Jurnalisnya tidak memiliki profesionalisme.

Sebagai tenaga professional selayaknya Jurnalis yang dilahirkan memiliki pendidikan khusus kewartawanan, ada standar yang diberikan kepada orang yang memasuki dunia Jurnalis. Inilah kegamangan yang hingga kini belum terjawabkan. Kalau seorang guru ia harus memiliki gelar sarjana keguruan, atau setidaknya memiliki Akta 4. Kalau seorang dokter ia harus memiliki gelar dokter dan dokter specialis, kalau seorang pengacara ia harus memiliki kartu pengacaranya. Dan hal ini didukung oleh perusahaan yang membutuhkan tenaga mereka. Lihat saja, tidak ada rumah sakit yang mempekerjakan orang yang tidak memiliki kemampuan medis, kecuali bila ia seorang Cleaning service. Tidak ada kantor pengacara yang bergabung diassosiasinya bila seseorang tersebut belum memegang kartu pengacara atau setidaknya ia seorang sarjana hukum. Demikian juga di lembaga pendidikan, hal tersebut kini sudah mulai diberlakukan, di sekolah swasta sekalipun, guru harus memiliki minimal akta 4.

Kenyataan Jurnalis di negeri ini benar-benar menggelitik, banyak Jurnalis yang tidak memiliki keahlian menulis berita bahkan tidak memahami kaedah berita, apalagi melaksanakan etika. Banyak Sarjana specifikasi jurnalistik yang disetarakan dengan orang yang tidak mengenyam pendidikan Jurnalistik. Dan diperparah lagi banyak perusahaan pers tidak memberikan pelatihan dan pendidikan Jurnalistik kepada Jurnalisnya. Asal sudah berani, bisa ngemop, keluarlah kartu pers. Tak perlu dibayar mahal, atau malah banyak yang tidak dibayar, bahkan turut memberikan "setoran" ke perusahaan. Dan lebih naifnya lagi, ada prilaku sejumlah Jurnalis dan sepertinya diaminkan redaksional, yakni Jurnalis membentuk stringer-stringer untuk membantunya bekerja memburu informasi. Mereka tidak dibekali apa-apa, bahkan tak jarang harus memodali diri sendiri untuk menyediakan fasilitas. Mereka tidak diseleksi, asal bisa bekerjasama. Keberadaan mereka tidak diakui perusahaan, gaji didapat dari upah berita yang dibagi dari Jurnalis yang terdaftar, tidak ada asuransi, tapi mereka bekerja layaknya seorang Jurnalis.

Dewan pers, komisi penyiaran, organisasi pers, tugasnya hanya sebagai penonton yang sibuk menjerit, bila ribut terjadi pelanggaran, kesalahan dalam pemberitaan dan penyiaran. Sibuk menuntut kebebasan pers, kebebasan berekspresi. Alih-alih bila terjadi pengekangan dalam mengakses informasi, Jurnalis tak pernah menang. Undang-undang pers no 40 tahun 1999 tidak menjadi sacral untuk sejumlah persoalan Jurnalistik yang menggelitik. Pelemahan Jurnalis lewat analogi undang-undang membuat sejumlah kasus berujung pada perdamaian tanpa proses hukum yang panjang dan melelahkan. UU Pers terlalu mahal untuk dijadikan salah satu pasal penjeratan.

Yah, Jurnalistik dunia yang masih menggelitik, bila aktivis dan para penggiat demokrasi masih tetap diam ditengah profesi Jurnalis masih terkebiri, bukan tidak mungkin keterbukaan informasi masih menjadi bahan lawakan dalam dagelan yang kian melelahkan.* **

Rika Suartiningsih
Penulis adalah Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, bekerja di Radio Kiss FM