6.26.2010

Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Jateng : Bebas Menumpahkan Idealisme

Mendengar kata wartawan, kita mungkin akan langsung merujuk pada wartawan media cetak atau televisi. Profesi wartawan seolah olah hanya milik media cetak dan televisi.
Padahal masih ada wartawan elektronik yang kiprahnya tidak banyak diketahui masyarakat.

Mereka adalah para jurnalis radio.

Kurang familiarnya jurnalis radio di masyarakat itulah yang melatarbelakangi ter bentuknya Komunitas Jur nalis Radio Jawa Tengah (KJR Jateng). Didirikan pada 1 April 2006 di Hotel Santika Semarang, komunitas itu bertujuan memberdayakan para jurnalis radio.
Keberadaan KJR diharapkan membuat jurnalis radio bisa memiliki profesionalitas dan posisi tawar yang lebih baik di masyarakat serta bisa membangun sinergi di antara mereka.
“Kalau bersatu, jurnalisme radio bisa menjadi satu kekuatan tersendiri, di samping jurnalisme cetak dan televisi. Karena sejauh ini, jurnalis radio itu relatif berjalan sendirisendiri,“ tutur Edhi Prayitno, salah seorang penggagas.

Organisasi yang beranggotakan para reporter radio dan awak radio itu kini telah memiliki sekitar 40-an anggota yang tersebar di Jawa Tengah. Jika pada awal berdiri, KJR hanya sekadar ajang bersilaturahmi antarreporter radio swasta di Semarang dan Jawa Tengah saja, kini kegiatannya lebih beragam.
Mulai dari mengadakan pelatihan atau workshop tentang jurnalistik radio untuk pelajar SMA/SMK maupun kalangan internal awak radio, hingga diskusi dan seminar yang bertema penyiaran.

“Beberapa waktu lalu kami mengadakan Roadshow Radio Journalism Goes to School di beberapa sekolah di Semarang. Sedangkan yang bersifat internal, kami pernah mengadakan beberapa pelatihan seperti workshop dan fieldtrip bertema lingkungan untuk jurnalis radio se-eks Karesidenan Semarang.
Kegiatan tersebut diharapkan dapat menambah pengalaman dan kemampuan membuat feature radio bagi anggota,“ cerita Timotius Aprianto, Ketua Harian KJR.

Sebagai wujud kepedulian terhadap sesama jurnalis, komunitas itu juga aktif dalam advokasi untuk para jurnalis yang mengalami ketidakadilan dalam menjalankan profesi. Misalnya, melakukan aksi solidaritas dan pernyataan sikap terhadap beberapa kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di sejumlah kota di Indonesia.

*** DALAM melakukan kegiatannya, beberapa kendala juga pernah menghampiri komunitas yang telah berusia 4 tahun itu. Menurut Timi, sapaan Timotius, masalah waktu menjadi kendala terbesar.

“Sebagai jurnalis radio, kami punya target berita. Begitu mendapatkan informasi, kami harus langsung membuat beritanya saat itu juga karena berita radio itu harus cepat siar.
Aktivitas yang padat membuat susah untuk berkumpul. Harus cari waktu yang benarbenar pas, apalagi jadwal libur tergantung rolling dari kantor,“ ujar pria kelahiran Balikpapan itu.

Karena sifatnya yang independen, pendanaan pun menjadi persoalan tersendiri.

“Untuk mengatasinya, biasanya kami mencari dana secara mandiri dengan mencoba bekerja sama dengan instansi yang biasa kita liput,“ ungkap Timi.

Di sisi lain kurang familiarnya jurnalis radio di masyarakat menjadi persoalan tersendiri. Karena tidak “sementereng“ jurnalis cetak dan televisi, kadang terjadi diskriminasi. Ironisnya, itu berasal dari narasumber.

“Tapi tidak apa-apa karena kami punya segmen sendiri. Kami punya fans yang menanti informasi.“ Kurang populernya jurnalis radio juga memberikan pengalaman berbeda pada N Arni, Ketua KJR. Saat melakukan liputan mendalam untuk radio Deutsche Welle di Jerman, narasumber yang dia wawancarai banyak yang heran pada cara dia merekam suara atau bunyi untuk mencari atmosfer yang mendukung. Karena menggunakan alat perekam berstandar internasional yaitu recorder digital marantz, mikrofon, dan headset, membuat dia sering dianggap jurnalis televisi.

“Nggak cuma itu saja, masyarakat masih banyak yang tidak tahu cara kerja jurnalis radio. Ketika merekam suasana untuk atmosfer, kadang saya dikira orang gila karena menyorongkan mikrofon di jalan raya untuk atmosfer jalan, bunyi gamelan, laut, atau suara kapal. Menggelikan tapi menyenangkan,“ papar cewek berjilbab itu.

Seiring dengan tingginya pertumbuhan radio yang mengemas berita sebagai sajian utama, pada Desember 2009 ketika mengadakan reorganisai, penyusunan AD/ART pun disepakati sebagai pedoman perilaku berorganisasi. Tak hanya itu saja, supaya lebih luwes dalam melakukan berbagai kegiatan, pada Maret lalu, komunitas itu pun resmi diaktakan pada notaris agar berbadan hukum.

Bergabung dengan KJR, menurut Timi memiliki manfaat tersendiri, yaitu bisa menumpahkan idealisme secara bebas. Hal ini dikarenakan tidak adanya tekanan dari corporate sehingga lebih bebas dan lebih mudah jika ingin membuat kegiatan. Selain itu, di antara para anggota bisa sharing liputan untuk disiarkan.

“Kalau bikin feature yang di radio tempat kami bekerja tidak bisa disiarkan karena tidak sesuai, mungkin di radio lain lebih sesuai sehingga liputan itu bisa disiarkan. Ini membuat kami menjadi lebih bersinergi.“

Adapun syarat untuk menjadi anggota KJR cukup mudah, yaitu harus bergabung di radio. “Selain itu, dia juga mau meluangkan waktu untuk KJR meskipun komunitas ini nonprofit-oriented,íí imbuhnya.

Walhasil, anggota KJR pun beragam. Tak hanya awak radio seperti penyiar dan staf redaksi di radiosiaran tapi juga jurnalis dari berbagai media radio baik radio lokal, nasional dan internasional. Selain itu, ada juga jurnalis pemula dan jurnalis yang sudah berpengalaman di dunia radio. (62) ALLAELY HARDHIANI

Rubrik Komunitas harian Suara Merdeka edisi Minggu (27/6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar